Senin, 22 Agustus 2011

Tingkatan Puasa

Sesungguhnya ada tiga
tingkatan puasa: biasa,
khusus dan sangat khusus.
Puasa biasa, maksudnya
adalah menahan diri
terhadap makan, minum dan hubungan biologis
antara suami istri dalam
jangka waktu tertentu.
Puasa khusus, maksudnya
adalah menjaga telinga,
mata, lidah, tangan serta kaki dan juga anggota
badan lainnya dari berbuat
dosa. Sedang puasa yang
sangat
khusus, maksudnya adalah
puasa hati dengan mencegahnya dari
memikirkan perkara
perkara yang hina dan
duniawi, yang ada
hanyalah mengingat Allah
swt. dan akhirat. Jenis puasa demikian dianggap
batal bila sampai mengingat
perkara perkara duniawi
selain Allah dan tidak
untuk akhirat. Puasa yang
dilakukan dengan mengingat perkara
perkara duniawi adalah
batal, kecuali mendorong
ke arah pemahaman
agama, karena ini
merupakan tanda ingat pada akhirat, dan tidak
termasuk pada yang
bersifat duniawi. Mereka
yang masuk ke
dalam tingkatan puasa
sangat khusus akan merasa berdosa bila hari-
harinya hanya terisi
dengan hal hal yang dapat
membatalkan puasa. Rasa
berdosa ini bermula dari
rasa takyakin terhadap karunia sertajanji Allah
swt. untuk mencukupkan
(dengan) rezeki Nya. Untuk
tingkatan ketiga ini
adalah milik atau hanya
dapat dicapai oleh para Rasul, para wali Allah dan
mereka yang selalu
berupaya mendekatkan
diri kepada Nya. Tidaklah
cukup dilukiskan dengan
kata-kata, karena hal tersebut telah menjadi
nyata dalam tindakan
(aksi). Tujuan mereka
hanyalah semata mata
mengabdi (berdedikasi)
kepada Allah swt, mengabaikan segala
sesuatu selain Dia. Terkait
dengan makna firman Allah
swt, "Katakanlah,
Allah! Kemudian
biarkanlah mereka bermain main dalam
kesesatannya.” (Q s. 6: 91).
Syarat-syarat Batin Puasa
khusus adalah jenis
ibadah yang diamalkan
sebagaimana oleh orang orang saleh. Puasa ini
bermakna menjaga seluruh
organ tubuh manusia agar
tidak melakukan dosa dan
harus pula memenuhi
keenam syaratnya: 1. Tidak Melihat Apa
yang Dibenci Allah Swt.
Suatu hal yang suci,
menahan diri dari melihat
sesuatu yang dicela
(makruh), atau yang dapat membimbangkan dan
melalaikan hati dari
mengingat Allah swt. Nabi
Muhammad saw. bersabda,
"pandangan adalah salah
satu dari panah-panah beracun milik setan, yang
telah dikutuk Allah.
Barangsiapa menjaga
pandangannya, semata
mata karena takut kepada
Nya, niscaya Allah swt. akan memberinya
keimanan, sebagaimana
rasa manis yang
diperolehnya dari dalam
hati. " (H.r. al Hakim, hadis
shahih). Jabir meriwayatkan dari Anas,
bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda, “Ada lima
hal yang dapat
membatalkan puasa
seseorang: berdusta, mengurnpat, menyebar isu
(fitnah), bersumpah palsu
dan memandang dengan
penuh nafsu." 2. Menjaga
Ucapan Menjaga lidah (lisan)
dari perkataan sia-sia,
berdusta, mengumpat,
menyebarkan fitnah,
berkata keji dan kasar,
melontarkan kata kata
permusuhan (pertentangan dan
kontroversi); dengan lebih
banyak berdiam diri,
memperbanyak dzikir dan
membaca [mengkaji] al-
Qur'an. Inilah puasa lisan. Said Sufyan berkata,
"Sesungguhnya
mengumpat akan merusak
puasa! Laits mengutip
Mujahid yang berkata, 'Ada
dua hal yang merusak puasa, yaitu mengumpat
dan berbohong."
Rasulullah saw. bersabda,
"Puasa adalah perisai. Maka
barangsiapa di antaramu
sedang berpuasa janganlah berkata keji dan jahil, jika
ada orang yang
menyerang atau
memakimu, katakanlah,
Aku sedang berpuasa! Aku
sedang berpuasa'!" (H.r. Bukhari
Muslim). 3. Menjaga
Pendengaran Menjaga
pendengaran dari
segala sesuatu yang
tercela; karena setiap sesuatu yang dilarang
untuk diucapkan juga
dilarang untuk
didengarkan. Itulah
mengapa Allah swt. tidak
membedakan antara orang yang suka mendengar
(yang haram) dengan
mereka yang suka
memakan (yang haram).
Dalam al Qur'an Allah swt.
berfirman, "Mereka gemar mendengar kebohongan
dan memakan yang tiada
halal." (Q.s. 5: 42). Demikian
juga dalam ayat
lain, Allah swt. berfirman,
"Mengapa para rabbi dan pendeta di kalangan
mereka tidak melarang
mereka dari berucap dosa
dan memakan barang
terlarang?" (Q.s. 5: 63).
Oleh karena itu, sebaiknya berdiam diri dan menjauhi
pengumpat. Allah swt.
berfirman dalam wahyu
Nya, 'Jika engkau (tetap
duduk bersama mereka),
sungguh, engkaupun seperti mereka ..." (Q.s. 4:
140). Itulah mengapa
Rasulullah saw.
mengatakan, "Yang
mengumpat dan
pendengarnya, berserikat dalam dosa." (H.r. at
Tirmidzi). 4. Menjaga Sikap
Perilaku Menjaga semua
anggota
badan lainnya dari dosa:
kaki dan tangan dijauhkan dari perbuatan yang
makruh, dan menjaga
perut dari makanan yang
diragukan kehalalannya
(syubhat) ketika berbuka
puasa. Puasa tidak punya arti apa apa bila dilakukan
dengan menahan diri dari
memakan yang halal dan
hanya berbuka dengan
makanan haram.
Barangsiapa berpuasa seperti demikian, bagaikan
orang membangun istana,
tetapi merobohkan kota.
Makanan yang halal juga
akan menimbulkan
kemudharatan, bukan karena mutunya tetapi
karena jumlahnya. Maka
puasa dimaksudkan untuk
mengatasi hal tersebut.
Karena didera
kekhawatiran, atau karena sakit yang
berkepanjangan,
seseorang dapat memakan
obat secara berlebihan.
Tetapi jelas tidak masuk
akal jika kemudian ada yang menukar obat
dengan racun. Makanan
haram adalah racun
berbahaya bagi kehidupan
beragama; sedang
makanan halal ibarat obat, yang akan memberikan
kemanfaatan apabila
dimakan dalam jumlah
cukup, tidak demikian
halnya dalam jumlah
berlebihan. Memang, tujuan puasa adalah mendorong
lahirnya sikap
pertengahan. Bersabda
Rasulullah saw,
"Betapa banyak orang
berpuasa yang tidak mendapatkan sesuatu,
kecuali lapar dan dahaga
saja!" (H.r. an Nasa'i, Ibnu
Majah). Ini ada yang
mengartikan pada orang
yang berpuasa namun berbuka dengan makanan
haram. Tetapi ada pula
yang menafsirkan dengan
orang yang berpuasa,
yang menahan diri dari
makanan halal tetapi berbuka dengan daging
dan darah manusia,
dikarenakan mereka telah
merusak puasanya dengan
mengumpat orang lain.
Lainnya lagi menafsirkan bahwa mereka ini
berpuasa tetapi tidak
menjaga anggota tubuhnya
dari berbuat
dosa.
5. Menghindari Makan Berlebihan Berbuka puasa
dengan
makan yang tidak
berlebihan, sehingga
rongga dadanya menjadi
sesak. Tidak ada kantung yang lebih tidak disukai
Allah swt. selain perut
yang penuh (berlebihan)
dengan makanan halal.
Dapatkah puasa
bermanfaat sebagai cara mengalahkan musuh Allah
swt. dan mengendalikan
hawa nafsu, bila kita
berbuka menyesaki perut
dengan apa yang biasa kita
makan siang hari? Terlebih lagi, biasanya di bulan
puasa masih disediakan
makanan tambahan, yang
justru di hari-hari biasa
tidak tersedia.
Sesungguhnya hakikat puasa adalah melemahkan
tenaga yang biasa
dipergunakan setan untuk
mengajak kita ke arah
kejahatan. Oleh sebab itu,
lebih penting (esensial) bila mampu mengurangi porsi
makan malam dalam bulan
Ramadhan dibanding
malam malam di luar bulan
Ramadhan, saat tidak
berpuasa. Karenanya, tidak akan mendapatkan
manfaat di saat berpuasa
bila tetap makan dengan
porsi makanan yang biasa
dimakan pada hari hari
biasa. Bahkan dianjurkan mengurangi tidur di siang
hari, dengan harapan
dapat merasakan semakin
melemahnya kekuatan
jasmani, yang akan
mengantarkannya pada penyucian jiwa. Oleh
karena itu,
barangsiapa telah
"meletakkan" kantung
makanan di antara hati dan
dadanya, tentu akan buta terhadap karunia tersebut.
Meskipun perutnya
kosong, belum tentu
terangkat hijab (tabir)
yang terbentang antara
dirinya dengan Allah, kecuali telah mampu
mengosongkan pikiran
dan mengisinya dengan
mengingat kepada Allah
swt. semata. Demikian
adalah puncak segalanya, dan titik mula dari
semuanya itu adalah
mengosongkan perut dari
makanan. 6. Menuju kepada
Allah
Swt. dengan Rasa Takut dan Pengharapan Setelah
berbuka puasa,
selayaknya hati terayun
ayun antara takut (khauf)
dan harap [raja']. Karena
siapa pun tidak mengetahui, apakah
puasanya diterima
sehingga dirinya termasuk
orang yang mendapat
karunia Nya sekaligus
orang yang dekat dengan Nya, ataukah puasanya
tidak diterima, sehingga
dirinya menjadi orang
yang dicela oleh Nya.
Pemikiran seperti inilah
yang seharusnya ada pada setiap orang yang telah
selesai melaksanakan
suatu ibadah.
Dari al Hasan bin Abil Hasan
al Bashri, bahwa suatu
ketika melintaslah sekelompok orang sambil
tertawa terbahak bahak.
Hasan al Bashri lalu
berkata, 'Allah swt. telah
menjadikan Ramadhan
sebagai bulan perlombaan. Di saat mana Para hamba
Nya saling berlomba dalam
beribadah. Beberapa di
antara mereka sampai ke
titik final lebih dahulu dan
menang, sementara yang lain tertinggal dan kalah.
Sungguh menakjubkan
mendapati orang yang
masih dapat tertawa
terbahak bahak dan
bermain di antara (keadaan) ketika mereka
yang beruntung
memperoleh kemenangan,
dan mereka yang merugi
memperoleh kesia-siaan.
Demi Allah, apabila hijab tertutup, mereka yang
berbuat baik akan
dipenuhi (pahala)
perbuatan baiknya, dan
mereka yang berbuat cela
juga dipenuhi oleh kejahatan yang
diperbuatnya." Dengan
kata lain, manusia yang
puasanya diterima akan
bersuka ria, sementara
orang yang ditolak akan tertutup baginya gelak
tawa.
Dari al Ahnaf bin Qais,
bahwa suatu ketika
seseorang berkata
kepadanya, "Engkau telah tua; berpuasa akan dapat
melemahkanmu." Tetapi al
Ahnaf bahkan menjawab,
"Dengan berpuasa,
sebenarnya aku sedang
mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang.
Bersabar dalam menaati
Allah swt. tentu akan lebih
mudah daripada
menanggung siksa Nya."
Demikianlah, semua itu adalah makna signifikan
puasa. Pentingnya
Memenuhi
Aspek aspek (Syarat)
Batin Sekarang Anda
mungkin mengatakan, "Dengan
menahan makan, minum
dan nafsu seksual, tanpa
harus memperhatikan
syarat batin itu sudah sah.
Menurut pendapat para ahli fiqih juga demikian, bahwa
puasa yang bersangkutan
sudah dapat dikatakan
memenuhi syarat, sudah
sah. Lalu mengapa kita
harus repot repot?" Anda harus menyadari
bahwa para ulama fiqih
telah menetapkan syarat-
syarat lahiriah puasa
dengan dalil-dalil yang lebih
lemah dibanding dalil dalil yang menopang
perlunya ditepati syarat
syarat batiniah. Misalnya
saja tentang mengumpat
dan yang sejenis.
Bagaimanapun perlu diingat, bahwa para ulama
fiqih memandang batas
kewajiban puasa dengan
hanya mempertimbangkan
pada kapasitas orang
awam yang sering lalai, mudah terperangkap
dalam urusan duniawi.
Sedangkan bagi mereka
yang memiliki
pengetahuan tentang hari
Akhir, akan memperhatikan sungguh-
sungguh dan memenuhi
dengan syarat batin,
sehingga ibadahnya sah
dan diterima. Hal demikian
itu mereka capai dengan
melaksanakan syarat-
syarat yang akan
mengantarkannya pada
tujuan. Menurut
pemahaman mereka, berpuasa adalah salah satu
cara untuk menghayati
salah satu akhlak Allah
Swt, yaitu tempat meminta
(shamadiyyah),
sebagaimana juga contoh dari para malaikat, dengan
sedapat mungkin
menghindari godaan nafsu,
karena malaikat adalah
makhluk yang terbebas
dari dorongan serupa. Sedang manusia
mempunyai derajat di atas
hewan, karena dengan
tuntunan akal yang
dimilikinya akan selalu
sanggup mengendalikan nafsunya; namun ia
inferior (sedikit lebih
rendah) dari malaikat,
karena masih dikuasai oleh
hawa nafsu, maka ia pun
harus mencoba untuk mengatasi godaan hawa
nafsunya.
Kapan pun manusia
dikuasai oleh hawa
nafsunya, maka ia akan
terjatuh dalam tingkatan yang terendah, sehingga
tidak ada tempat lagi selain
bersama hewan. Kapan
pun ia mampu
mengatasinya, maka ia
akan terangkat ke tingkatan para malaikat.
Malaikat adalah makhluk
yang paling dekat dengan
Allah swt, karenanya
malaikat pun menjadi
contoh bagi makhluk yang ingin dekat dengan Allah.
Tentu dengan segala
ibadah akan menjadikan
diri semakin dekat dengan
Nya. Hanya saja bukan
dalam pengertian dekat dalam dimensi ruang, tetapi
lebih pada kedekatan sifat.
Jika demikian itu adalah
rahasia puasa bagi mereka
yang memiliki kedalaman
pemahaman spiritual, apakah manfaat
menggabungkan dua
(porsi) makan pada waktu
berbuka, seraya
memuaskan nafsu lain yang
tertahan ketika siang hari. Dan kalaulah
demikian, lalu apa makna
Hadis Nabi saw. yang
berbunyi, "Betapa banyak
orang berpuasa yang tidak
mendapat sesuatu selain lapar dan dahaga?"